Memasuki 2022, proses pemulihan ekonomi diproyeksi akan terus membaik, dengan catatan pendemi Covid-19 bisa dijinakkan. Indaktor-indikator ekonomi, misalnya, PMI (Purchasing Managers Index), daya beli, investasi langsung, neraca pembayaran, dan lainnya, terlihat berjalan positif. Bahkan pada 2022, Indonesia didaulat menjadi presidensi G-20, yang tentu akan memberi manfaat bagi perekonomian nasional.
Namun, satu hal yang selalu menggelayuti tubuh ekonomi kita adalah penyakit entropi ekonomi. Adanya ekonomi biaya tinggi, masih besarnya pungutan resmi/tidak resmi, korupsi makin mengganas dan masif, kebocoran anggaran negara, ekonomi rente, dan seterusnya, merupakan bagian entropi itu. Penyakit ini selalu mengganggu proses pemulihan ekonomi tersebut.
Lantas, apa itu entropi ekonomi? Meminjam teori fisika, terutama dalam teorema termodinamika dikenal adanya entropi. Merujuk Ben-Naim Arieh, (2007). entropi merupakan suatu besaran fisika yang mendeskripsikan ketidakaturan sebuah sistem materi. Dalam telaah termodinamika, semakin tidak teratur sebuah sistem, semakin besar pula entropinya. Itu artinya, makin besar entropi berarti makin kacau sistem dan mekanisme dalam materi.
Maka, entropi ekonomi telah berdampak pada sulitnya perekonomian Indonesia keluar dalam jebakan pendapatan kelas menengah (middle income trap). Situasi ini terkonfirmasi, ekonomi Indonesia sulit naik ke status negara dengan pendapatan tinggi. Tersandera dalam angka pendapatan per kapita di bawah US$3.996 per tahun. Selain itu, juga berdampak pada naiknya angka Incremental Capital Output Ratio (ICOR). Angka ICOR Indonesia masih bertengger tinggi mendekati 7 persen, sementara rerata negara Asean hanya 3,5 persen. Tingginya angka ini mengrim pesan, masih rendahnya produktivitas, rendahnya daya saing, inefisiensi, dan banyaknya biaya siluman menterpedo mesin birokrasi ekonomi.
Banyak faktor yang memantik terjadinya entropi ekonomi. Pertama, keruwetan mesin birokrasi. Merujuk laporan Doing Business 2020 yang dirilis Bank Dunia misalnya, kemudahan berbisnis atau ease of doing business (EODB) di Indonesia tetap berada di atas peringkat ke 70 an atau masih peringkat ke 6 di Asean.
Hingga setahun UU Cipta Kerja diluncurkan, belum ada perubahan signifikan terkait rezim birokrasi perizinan ini, terutama di tingkat daerah. Pun UU ini belum ramah pada isu-isu keadilan dan lingkungan hidup. Di titik itu pula, sehingga MK (Mahkamah Konstitusi) memvonis bahwa UU ini cacat dalam proses kelahirannya.
Kedua, kebocoran anggaran. Mengonfirmasi data Badan Pusat Statistik (BPS), besarnya aktivitas kebocoran anggaran diperkirakan 8,3 – 10 persen dari PDB. Jika PDB Indonesia pada triwulan II-2021 mencapai Rp4.175 triliun, potensi kebocoran mencapai Rp417,5 triliun. Bahkan, Transparency International Indonesia (TII), mengestimasi potensi kebocoran kisaran 30 – 40 persen dari PDB.
Mengutip laporan Global Competitiveness Index dari World Economic Forum, korupsi salah satu bentuk kebocoran anggaran dan menjadi faktor penghambat investasi di Indonesia. Bahkan TII, semenjak 1995 hingga saat ini, telah menerbitkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK), yakni peringkat negara-negara di dunia berdasarkan persepsi (anggapan) publik terhadap korupsi di jabatan publik dan politik. Indonesia masih berada pada posisi yang sangat memprihatinkan.
Pada kasus ekosistem logistik nasional misalnya, terlihat masih ruwet di masa pandemi Covid-19 ini. Ego sektoral masih dominan sehingga memantik kebocoran anggaran dan biaya tinggi. Pada 2018, Logistic Performance Index (LPI), Indonesia masih peringkat 46, jauh di bawah Singapura, Tiongkok, Thailand, Vietnam, Malaysia, dan India. Begitu pula peringkat trading across borders Indonesia masih stagnan di peringkat 116 dalam dua tahun terakhir.
Biaya logistik Indonesia masih tertinggi dibanding lima negara Asean lain, yakni 24 persen dari produk domestik bruto atau setara Rp3.560 triliun. Padahal biaya logistik dan transportasi merupakan komponen terbesar. Biaya transportasi yang tidak reliable akan membuat biaya inventori semakin meningkat.
Ketiga, tingginya ekonomi bayangan (shadow economy). Schneider dan Enste (2002), shadow economy mencakup bukan hanya aktivitas-aktivitas yang legal tetapi juga pendapatan yang tidak tercatat yang berasal dari produksi barang dan jasa. Atau shadow economy mencakup semua aktivitas ekonomi yang dapat dikenakan pajak bila aktivitas-aktivitas tersebut tercatat di otoritas pajak (Brata, 2003).
Pada kasus tergerusnya penerimaan dari setoran pajak industri sawit Indonesia, misalnya, menjadi kasus yang aneh tapi nyata. Padahal komoditas ini selalu menyumbang devisa terbesar, di tengah harga internasional yang membaik. Bahkan, luasan areal dan produksi buah tandan segar sawit meningkat. Tapi pada faktanya, merujuk riset Tempo, Mongabay, Betahita, dan Auriga Nusantara menemukan kejanggalan.
Penerimaan pajak terus menerus merosot dari Rp21,87 triluan (2015) selanjutnya pada tahun-tahun berikutnya hanya retara Rp15 trliun (2020). Menurut riset tersebut, banyak pelaku usaha tidak melaporkan pajaknya dan terjadi pengelabuan pajak. Tentu, kasus sejenis “setali tiga uang” pada industri ekstraktif, misalnya, batu bara, emas, nikel, tembaga, dan lainnya,
Selain itu, merujuk laporan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) pada awal Oktober 2021, dalam kurun 2016 hingga September 2021, PPATK membuat 2.607 laporan hasil analisis (LHA) dan 240 laporan hasil pemeriksaan (LHP). LHA dan LHP tersebut telah diserahkan kepada aparat penegak hukum. Sayang sekali, kurang dari 30 persen dari laporan itu yang ditindaklanjuti. Bahkan, dari 30 persen itu tidak jelas juntrungannya, apa hasilnya?
Pada Mei 2016, Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang S. Brodjonegoro pernah mengungkap angka Rp11.400 triliun uang Warga Negara Indonesia (WNI) yang diparkir di luar negeri. Potensi uang sebanyak itu merupakan kekayaan dari para pemain lama, yang sudah bertahun-tahun menyimpan uang di luar negeri. Demikian pula pada kasus Pandora Papers dan Panama Papers, menunjukkan energi bangsa banyak terendap.
Pelbagai entropi ekonomi yang ditunjukkan di atas bisa diamputasi jika ada kesungguhan elite politik dan ekonomi. Produk hukum tidak sekadar asesori, tapi perlu law enforcement yang tegas. Lebih dari itu, perlu aransemen sistem, kelembagaan, dan kepemimpinan tegas. Masalahnya, mental bangsa kita masih disandera entropi negara lunak (soft state) merujuk Gunnar Myrdal (1968). Karakter mental ini mudah memanipulasi sistem, hukum atau aturan melalui kepentingan myopic.
Mukhaer Pakkanna
(Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta)