Saya terhenyak tatkala membaca tartil buku Homo Deus, A Brief History of Tomorrow karya Yuval Noah Harari edisi online, yg terbit Februari 2017.
Saya kemudian membayangkan manusia ke depan, terterungku dalam hidup serba blended. Dunia post-human.
Sebuah dunia di mana manusia hidup berdampingan dengan entitas teknologi dan mesin yg berbasis kecerdasan buatan. Manusia hidup bersama dgn robot, bot dan perangkat lunak. Semua serba aplikasi. Kehidupan pun menjadi post human sociality.
Tren itu sudah terkonfirmasi dengan fenomena saat ini. Hidup hibrid. Saat makan bersama keluarga, anak2 hidup dgn gawai-nya. Tengoklah, yang jauh makin dekat, yang dekat makin jauh. Terjadi disrupsi interaksi impersonal. Maka, masa pandemi, makin meneguhkan perilaku itu.
Apakah kehidupan kita terjerat dehumanisasi? Saya kira tidak. Saya teringat pesan puitis Kahlil Gibran: Anakmu bukanlah milikmu, mereka adalah putra-putri sang Hidup, yang rindu akan dirinya sendiri. Mereka lahir lewat engkau, tetapi bukan dari engkau. Mereka ada padamu, tetapi bukanlah milikmu. Engkaulah busur asal anakmu, anak panah hidup melesat pergi.
Dunia masa depan, adalah dunia anak kita saat ini. Lembaga pendidikan juga ikut bertanggung jawab bagaimana "pendamping manusia" itu disiapkan. Jgn diserahkan teknologi dan mesin itu pada mekanisme pasar.
Bagaimanapun teknologi tetap bebas nilai. Tp ingat: the man behind the gun. Kita harus menyiapkan the man nya.
Caranya bagaimana? Seluruh jejaring ekosistem pendidikan, energinya harus diarahkan bagaimana menciptakan teknologi yang ramah pada kebudayaan, kemanusiaan, dan kearifan lokal.
Namun paling penting, pendidik harus selalu belajar ilmu-ilmu konvergentif dan tidak linearistik yg acapkali mencerabut sifat kemanusiaannya. Egoisme keilmuan harus diluruhkan. Menuju ilmu yg beradab, bukan tuna adab.
Mukhaer Pakkanna
(ITB Ahmad Dahlan Jakarta)